Kamis, 05 Juni 2014

REVOLUSI MENTAL JOKOWI : TUKANG MEBEL MENJADI MEGA KORUPTOR


I.1. Pendahuluan
Sebagai calon Presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, belakangan Gubernur DKI Jakarta atau Jokowi memang semakin populer di tanah air. Namun, popularitas tersebut dipastikan merupakan suatu rekayasa yang dilakukan jauh-jauh hari sejak Jokowi menjadi Walikota Solo.

Hampir semua media massa, baik cetak dan elektronik, media sosial, lembaga survey hingga pengamat politik mempersepsikan bahwa Jokowi adalah sosok yang jujur, anti korupsi, sederhana, merakyat serta semua karakter yang positif.

Kondisi pemberitaan di semua media tersebut diatas membuat seluruh lapisan masyarakat baik masyarakat berpenghasilan rendah sampai berpenghasilan tinggi, masyarakat yang berpendidikan rendah sampai yang berpendidikan tinggi – menjadi korban karena mereka tidak punya sumber informasi lainnya tentang profil Jokowi yang sebenarnya.

Akan tetapi dari hasil investigasi CSIS (Center for Strategic Intelligence Studies) ditemukanlah fakta-fakta yang sangat mengejutkan dan bertolak belakang dengan apa yang dicitrakan terhadap sosok Jokowi oleh semua media massa, media sosial, lembaga survey hingga pengamat politik.

Diduga kuat, pencitraan positif terhadap Jokowi tersebut merupakan suatu tipuan politik yang dilakukan secara massif, sistematis dan terstruktur oleh media massa bayaran, media sosial bayaran, lembaga survey bayaran dan pengamat politik bayaran yang dibelakangnya dibiayai oleh Aliansi sekelompok konglomerat hitam dengan sekelompok oligarki elit partai politik.

Aliansi sekelompok oligarki konglomerat hitam tersebut antara lain James T Riyadi, Edward Soeryadjaja, Anthony Salim, Chairul Tanjung, Jacob Oetama (pemilik Kompas Gramedia Grup), Sofyan Wanandi, Jacob Soetoyo, Sjamsul Nursalim, Tahir (Mayapada Grup), Tommy Winata, Rusdi Kirana (pemilik Lion Air dan Wakil Ketua Umum PKB), Theodore P Rachmat dan Edwin Suryadjaja (Grup Astra dan Saratoga), Tjahjadi Kumala dan Haryadi Kumala (terlibat dalam kasus korupsi Bupati Bogor Rahmat Yasin) dan masih banyak lagi.

Sedangkan kelompok oligarki elit partai politik yang berkolaborasi dengan kelompok konglomerat hitam tersebut diatas antara lain: Megawati Sukarnoputri, Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, Sabam Sirait, Maruarar Sirait, Hasto Kristianto yang ditengarai merupakan pacar gelap Puan Maharani, Hendro Priyono (pelanggar HAM berat dalam kasus Talangsari Lampung 1985 dan diduga terlibat kasus pembunuhan Munir - seorang aktivis HAM), Surya Paloh, Jusuf Kalla, Aksa Mahmud, Erwin Aksa, Fahmi Idris, Agung Laksono, Luhut Binsar Panjaitan (Agen Mossad), Muhaimin Iskandar, Romahurmuzy, Suharso Monoarfa, Emron Pangkapi, Rahmat Yasin dan masih banyak lagi.

Sementara dari jajaran direksi BUMN pendukung kuat Jokowi antara lain: Dirut KAI Ignasius Jonan, Dirut Pelindo II R.J. Lino dll.

Dari komposisi aliansi sekelompok oligarki konglomerat hitam dan sekelompok elit partai politik tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa inti koalisi PDIP adalah dengan Nasdem dan PKB, sedangkan PPP dipecah belah untuk diarahkan ikut koalisi PDIP, Nasdem dan PKB. PKB adalah satu-satunya partai Islam yang telah berhasil di “akuisisi” oleh para konglomerat hitam melalui Rusdi Kirana. Dengan komposisi koalisi seperti itu dapat dipastikan bahwa cawapres Jokowi adalah Jusuf Kalla.

Jika pasangan Jokowi – JK memenangkan Pilpres maka mereka akan “mengkudeta” DPP Golkar dengan menempatkan Agung Laksono sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai  Golkar. Operasi gelap tersebut dilakukan oleh Aksa Mahmud – Sang besan Jusuf Kalla - , Fahmi Idris dan menantunya yaitu Poempida Hidayatullah. Tradisi dan DNA Golkar adalah selalu masuk dalam lingkaran kekuasaan, jika Ketua Umum Golkar kalah dalam Pilpres, dapat dipastikan bahwa Ketua Umum yang kalah tersebut akan dikudeta. Contohnya pada tahun 2004 Akbar Tandjung yang berada di pihak Koalisi Kebangsaan bersama Megawati diganti oleh Jusuf Kalla saat Munas di Bali dan pada tahun 2009 Jusuf Kalla yang kalah pada Pilpres 2009 dari SBY Budiono, diganti oleh Aburizal Bakrie saat Munas di Pekanbaru Riau.

Yang sangat menarik adalah grup usaha Kodel yang digawangi oleh para aktivis 66’ yaitu Sugeng Sarjadi, Maher Algadri dan Fahmi Idris yang mengaplikasikan strategi politik Belimbing. Strategi politik Belimbing tersebut adalah kaki pertama yaitu Sugeng Sarjadi ada di pihak SBY, kaki kedua yaitu Maher Algadri ada di pihak Prabowo Subianto, kaki ketiga yaitu Fahmi Idris ada di kubu Jusuf Kalla dan kaki keempat yaitu Sukardi Rinakit – Direktur Eksekutif Sugeng Sarjadi Syndicate – yang selalu menjilat – jilat Megawati dan PDIP.

Kombinasi pasangan Jokowi yang hanya capres boneka, koruptor dan sangat mengandalkan pencitraan serta Jusuf Kalla – seorang Kleptokrasi yang sangat serakah - hanya akan membawa Bangsa dan Negara serta masyarakat Indonesia ke jurang penderitaan. (Bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar