Kamis, 05 Juni 2014

IV.1. KASUS KORUPSI JOKOWI DI SOLO

IV.1.1. Korupsi APBD Solo – Persis
Bagi Jokowi, Michael Bimo Putranto, selain sebagai “kasir atau ATM”, Bimo merupakan partner Jokowi dalam korupsi dana hibah KONI Rp. 11,3 miliar yang merugikan negara Rp. 5 miliar pada APBD Solo tahun 2009 silam. Ketika Jokowi menjadi Walikota Solo, Bimo adalah Ketua atau Presiden Klub Pasoepati dan pengurus teras Persatuan Sepak Bola Solo (PERSIS).

Pada tahun 2008, Persis Solo mengajukan anggaran untuk operasional untuk klub tersebut, namun karena dilarang ketentuan peraturan perundang-undangan, pengajuan anggaran itu ditolak DPRD Solo. Belakangan diketahui, dana hibah KONI pada APBD Solo tahun 2009 sebesar Rp. 11,3 miliar, sebesar Rp 5 miliar raib. Diduga sekitar Rp.3 – 3,5 miliar masuk ke kas Persis Solo dan Rp. 1,5 miliar masuk ke kantong Jokowi dan Michael Bimo.

Jokowi melanggar hukum dan diduga korupsi dan hibah KONI Solo sebesar Rp. 5 miliar. Pada tahun 2008 KONI Surakarta (Solo) mengajukan permohonan bantuan anggaran pembinaan dan bonus atlet berprestasi ke Pemkot Solo. Atas permintaan KONI, Pemkot Solo menyampaikan usulan RAPBD 2009 dengan alokasi dana hibah sebesar Rp. 11.3 miliar untuk KONI Solo. Nota RAPBD 2009 Pemkot Solo dengan rencana anggaran hibah untuk KONI Solo disetujui DPRD Solo dan ditandatangani Jokowi selaku Walikota.

Sebelumnya pada pada tahun 2008 PERSIS Solo juga mengajukan permohonan dana bantuan ke Pemkot Solo. Tapi tak disetujui karena dilarang peraturan dan perundang-undangan. Terbukti bahwa APBD Solo TIDAK mengalokasikan dana hibah ke Persis Solo pada APBD tahun 2009. Namun dalam pelaksanaannya, DPRD Solo menemukan penyimpangan pencairan dana Rp. 11,3 miliar itu oleh Jokowi, dimana dana APBD 2009 untuk hibah KONI Solo hanya diterima sebesar Rp. 6,3 miliar atau kurang Rp. 5 miliar dari anggaran APBD 2009 yang sudah disahkan.

KONI Solo melalui Wakil Ketua KONI Gatot Sugiharto mempertanyakan kemana kekurangan uang uang Rp. 5 miliar yang tidak diterima KONI. Jawaban Walikota Jokowi bahwa sisa uang Rp.5 miliar dana hibah hak KONI itu sudah dialihkan untuk PERSIS (Persatuan Sepakbola Solo).

Pengalihan uang Rp. 5 miliar dana Hibah KONI melanggar UU dan hukum karena tanpa ada persetujuan DPRD dan Mendagri. Sesuai perundang-perundangan yang berlaku dana APBD tidak diperbolehkan dihibahkan ke cabang olahraga termasuk sepakbola.

Tindakan Jokowi itu melanggar UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri No 59 tahun 2007 serta Perda APBD Kota Solo. Belakangan diketahui uang Rp. 5 miliar hak KONI SOLO telah dialihkan dan disebut Jokowi sudah diterima PERSIS Solo juga tidak dapat dipastikan kebenarannya. Tidak ada laporan penerimaan dana hibah dari APBD 2009 atau hibah dari KONI Solo untuk Persis Solo sebesar Rp. 5 miliar dalam laporan keuangan PERSIS Solo tahun 2009.
Aktor Intelektual : Walikota Solo Jokowi
Operator Lapangan : Michael Bimo Putranto
Nilai Proyek : Rp 11,3 miliar
Estimasi Uang yang dikorupsi : Rp 5 miliar


IV.1.2. Penjualan Aset Hotel Maliyawan yang melanggar hukum
Dalam kasus pelepasan aset bangunan Hotel Maliyawan ini, secara nyata Jokowi yang saat itu menjabat Walikota Solo, adalah dua tindak pidana yang dilakukannya:
Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
Dugaan suap dari Lukminto : Pemilik PT. Sritex
Jokowi telah terbukti merekayasa pelepasan aset bangunan Hotel Maliyawan Solo secara ilegal dan melanggar hukum. Semula Pemkot Solo yang ngotot mau beli tanah hotel milik Pemda Jawa Tengah dan sudah menganggarkan dana pembelian tanah melalui APBD Solo. Tapi Jokowi diam-diam telah menjual bangunan hotel Maliyawan kepada Lukminto. Diduga kuat ada suap untuk Jokowi atas penjulan aset Pemkot Solo di Hotel Maliyawan tersebut.

Jokowi terbukti melanggar Peraturan Pemerintah (PP) 38/2008 atas Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah dan Negara. Jokowi juga melanggar batas kewenangannya sesuai dengan UU Pemda No 22 tahun 1999, UU No 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, sebagaimana telah diubah dengan diubah keduakalinya dengan UU Nomor 12 tahun 2008 dan sejumlah peraturan pemerintah terkait pelepasan aset.

Jokowi terbukti telah melanggar PP No 6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah, Perda No 8/2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. KKN Jokowi bersama Lukminto telah melanggar Laporan Pertanggung Jawaban Walikota Tahun 2010 yang telah menganggarkan pembelian tanah Hotel Maliyawan sebesar Rp.4 miliar dari Pemda/ BUMD Jawa Tengah (CMJT). Jokowi juga telah melanggar Nota Kesepakatan Pemkot Solo dengan DPRD Kota Solo No 910/3.314 dan No 910/1/617 tentang Kebijakan Umum Perubahan APBD Solo.                                                                 
Aktor Intelektual : Walikota Solo Jokowi
Operator Lapangan : -
Penyuap : Lukminto – pemilik PT. Sritex

IV.1.3. Skandal Korupsi Jokowi pada proyek BPMKS (Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo)
Pada tahun 2010, APBD Solo menganggarkan dana BPMKS sebesar Rp. 23 miliar untuk 110.000 siswa SD, SMP dan SMA Kota Solo. Penyimpangan dan korupsi adalah pada proses penganggarannya yang terjadi penggelembungan jumlah siswa dari 65.000 menjadi 110.000 siswa dengan modus duplikasi nama siswa. Sehingga anggaran APBD 2010 yang seharusnya hanya Rp. 10.6 miliar di markup menjadi Rp. 23 miliar. Dari dana APBD tahun 2010 sebesar Rp. 23 miliar itu, dilaporkan tersisa Rp.2.4 miliar atau terpakai/ tersalurkan Rp. 20.6 miliar.

Hasil audit tim audit BPK dan Itjen Kemendagri, telah terjadi korupsi pada program BPMKS sebesar Rp 9.5 – 13 miliar dari penggunaan dana APBD tahun 2010 sebesar Rp. 23 miliar. Untuk program BPMKS APBD 2011 dan 2012 juga terjadi penyimpangan dan korupsi yang sama dengan modus yang sama. Pihak masyarakat sudah melaporkan perihal korupsi Jokowi di program BPMKS ke KPK, tetapi seperti kita ketahui bersama, puluhan ribu laporan masyarakat di KPK menumpuk menunggu antrian bertahun – tahun untuk mulai diusut.
Aktor Intelektual : Walikota Solo Jokowi
Operator Lapangan : Michael Bimo Putranto
Nilai Proyek : Rp 23 miliar
Estimasi Uang yang dikorupsi : Rp 9.5 - 13 miliar

IV.1.4. Pembangunan Gapura Sriwedari diatas tanah sengketa
Selama Jokowi menjabat sebagai Walikota Solo selama dua periode, 2005 – 2010 dan 2010 – 2015, kasus yang turut mencuat ke publik adalah kasus dugaan penyelewengan proyek pembangunan pagar dan gapura Taman Sriwedari tahun 2008.

Proyek pembangunan pagar dan gapura Sriwedari terindikasi terjadi praktik korupsi dengan kerugian sekitar Rp 90 juta. Pimpinan proyek tersebut, Budi Butsono, asal Boyolali, juga sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Proyek milik Pemkot Surakarta itu menelan anggaran sebesar Rp 1 miliar dari APBD tahun 2008. Kejari menegaskan tidak menutup kemungkinan ditetapkannya tersangka baru dari pejabat Pemkot yang diduga mengetahui proyek tersebut.

Selain terbongkar, jika skandal proyek itu dugaan korupsi, ternyata status tanahnya adalah tanah sengketa dan masuk dalam kategori Benda Cagar Budaya (BCB), Pemkot Surakarta di bawah kepemimpinan Jokowi, saat itu dengan gampangnya membangun pagar di atas tanah bersengketa, dengan menggunakan dana APBD 2008 senilai sekitar Rp 960 juta. Dalam kasus ini, Jokowi tidak bisa berkelit begitu saja karena berdasarkan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, UU No 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya jo UU No 11 Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU no 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Perda No 8 tahun 2009 tentang bangunan, jelas disebutkan bahwa jika Walikota sebagai Kepala Daerah wajib mengetahui, dan bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan yang dipimpinnya, terutama pertanggung jawaban secara kewenangan, dalam hal pengeluaran dana APBD Pemkot Surakarta, senilai hampir 1 miliar, untuk membangun pagar di atas tanah yang berstatus sengketa.

Pemkot Surakarta juga sudah tidak memiliki hak atas tanah Sriwedari dengan dicabutnya Hak Pakai 11 dan Hak Pakai 15 berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 12K/TUN/2004. Pembangunan pagar Taman Sriwedari dilakukan Pemkot Surakarta sebagai langkah awal revitalisasi terhadap cagar budaya yang berada di lingkungan Taman Sriwedari.

IV.1.5. Penjualan asset Mangkunegaran kepada Edward Soeryadjaja
Perkenalan Jokowi dengan Edward Soeryadjaja, suami dari Atilah Soeryadjaja, membawa petualangan politik Jokowi ke level yang lebih tinggi, meski ia mengorbankan keluarga Mangkunegaran. Atilah yang berambisi bisa “menguasai” Pura Mangkunegaran, dengan bantuan Jokowi, Atilah dapat menggelar tari Matah Ati di tahun 2012 di Pamedan Pura Mangkunegaran.

Atas jasa Jokowi kepada Atilah itu, Atilah pun dikabarkan deal dengan Jokowi untuk menjadi sponsor pencalonan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta  pada tahun 2013. Deal juga termasuk penguasaan beberapa aset Mangkunegaran seperti Hotel Dana, Taman Putra dan Pasar Triwindu. Termasuk pembangunan restoran dan Hotel Omah Sinten di depan Pura Mangkunegaran, yang sebenarnya itu adalah pelanggaran UU No 11 tahun 2010 soal Benda Cagar Budaya. Hotel dan Restoran Oemah Sinten faktanya resmi milik Jokowi yang modalnya berasal dari Atilah Soeryadjaja, sedangkan Slamet Rahardjo hanya dipinjam namanya saja. Juga deal mengenai pengembangan proyek Astra di Ring Road Mojosongo.

IV.1.6. Penjualan asset Benteng Vastenburgh
Pada kasus Benteng Vastenburgh semua orang tahu jika benteng yang seharusnya menjadi milik negara itu telah berpindah tangan ke kepemilikan swasta yaitu Robby Sumampouw alias Robby Kethek. Robby sendiri mendapatkan benteng itu dari seorang pengusaha Cina, yang mendapatkan benteng itu karena menang judi dengan Handoko Tjokrosaputro (Benny Tjokro), putra sulung dari mendiang Kwee Som Tjok (Kasom Tjokrosaputro) yang merupakan pendiri merk batik ternama Batik Keris di Solo.

Saat Robby ingin membuat hotel di Vastenburgh, sebagai Walikota, Jokowi pun dengan mudah memberinya izin pada tahun 2009. Padahal hal itu jelas melanggar hukum yaitu UU BCB 1992 Juncto UU 11/2010. Jokowi berani melanggar hukum, karena konon dia mendapat bagian komisi sekitar 20 persen berujud saham di hotel tersebut dari total saham sekitar Rp. 50 milyar. Sedangkan investor utama dari jaringan hotel tersebut adalah jaringan Muchtar Riyadi yang merupakan ayah dari James T Riyadi. Jaringan Muchtar Riyadi ini pulalah yang akhirnya bisa bermain untuk membeli kawasan Mangkubumen untuk dibangun apartemen Solo Paragon, dan juga Sari Petojo yang kini dalam proses dibangun hotel dan mall.

IV.1.7. Michael Bimo Putranto : Sang Operator Korupsi Jokowi  
Michael Bimo Putranto, seorang karib dekat Jokowi yang sejak lama menjadi operator sekaligus pengumpul komisi bagi proyek – proyek yang diatur oleh mereka berdua sejak Jokowi menjabat Walikota Solo.

Michael Bimo adalah seorang kader PDIP yang juga anak seorang Gerwani, berperan penting sebagai operator korupsi Jokowi dalam pengadaan beberapa proyek transportasi Jokowi di Solo seperti Batik Solo Trans (BST), Sepur Kluthuk Jaladara, Bus Tingkat Werkudara dan Rail Bus Kresna.

Dilihat dari cara-cara strategi dan taktik Jokowi menimbun harta seperti mengkorupsi dana APBD pada kasus korupsi APBD Persis Solo, kasus korupsi BPMKS, kasus pembangunan Gapura Sriwedari di atas tanah sengketa, pengadaan proyek – proyek transportasi di Solo (Batik Solo Trans, Sepur Kluthuk Jaladara, Bus Tingkat Werkudara dan Rail Bus Kresna) dan penjualan asset – asset Negara dan Keraton Surakarta (penjualan asset Hotel Maliyawan, Hotel Dana, Taman Putra, Pasar Triwindu, Hotel Omah Sinten, penjualan asset Benteng Vastenburgh) kepada para investor konglomerat hitam yang beragama Kristen, menunjukkan bahwa Jokowi sangat pro kepada kaum Kapitalis Borjuis bukan kepada wong cilik. Yang membutuhkan proyek – proyek hotel, apartemen dan mal adalah kaum menengah keatas, bukan wong cilik. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar