Kamis, 05 Juni 2014

IV.2. KASUS KORUPSI JOKOWI DI JAKARTA

IV.2.1.A. Kasus Korupsi Bus Trans Jakarta

Awal tahun 2014, publik dihebohkan dengan ratusan busway berkarat dan rusak yang baru didatangkan dari Tiongkok. Disini lagi-lagi Michael Bimo Putranto, partner Jokowi dalam menggarong APBD Kota Solo,  terindikasi memiliki peran penting dalam tender pengadaan bus Trans Jakarta karatan sebagai operator pengadaan dan pengumpul komisi untuk Jokowi. Kuat dugaan adanya markup anggaran dalam proses lelang proyek ini, dengan bus karatan asal Cina berjumlah 310 unit bus Transjakarta dan 346 unit Bus Kota Terintegrasi Busway (BKTB).

Michael Bimo sejak di Solo menjadi kolega Jokowi, dua kali masuk dalam tim sukses Jokowi yang berpasangan dengan F.X. Hadi Rudyatmo pada pemilihan Wali Kota Solo, pada 2005 dan 2010. Michael Bimo dan Jokowi adalah sesama wakil ketua DPD PDIP Jawa Tengah 2010 – 2015.

Pentingnya peran Bimo dalam proyek pengadaan ratusan bus dari Cina ini membuat Bimo bolak balik ke pabrik bus Ankai di Cina, hingga ditengarai Bimo kongkalikong dalam proses pengadaannya. Permainan Bimo tak sampai disitu, Bimo diduga menjadi orang yang menolong mantan Kepala Dinas Perhubungan, Udar Pristono saat akan dicopot Jokowi pada tahun 2013. Padahal, ketika itu, posisi Udar di ujung tanduk karena bermasalah.

Dalam kasus busway karatan ini, akhir Maret lalu, Kejagung telah menetapkan dua tersangka terkait kasus yang bernilai Rp 1,5 triliun ini setelah menemukan bukti permulaan yang cukup. Dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka yaitu Drajat Adhyaksa dan Setyo Tuhu. Keduanya merupakan pegawai negeri sipil pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta. 

Drajat Adhyaksa merupakan Pejabat Pembuat Komitmen pengadaan bus peremajaan angkutan umum reguler dan kegiatan pengadaan armada bus Trans Jakarta. Ia ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print–25/F.2/Fd.1/03/2014, tanggal 24 Maret 2014. Sementara Setyo Tuhu merupakan ketua panitia pengadaan barang/jasa bidang pekerjaan konstruksi 1 Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Ia ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print – 26/F.2/Fd.1/03/ 2014, tanggal 24 Maret 2014.

Belakangan, pada 12 Mei 2014 lalu, Mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar Pristono resmi dinaikan statusnya dari semula saksi menjadi tersangka. Udar disangkakan telah melakukan tindak pidana korupsi terkait pengadaan dan peremajaan armada bus Trans Jakarta senilai Rp 1,5 triliun di Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada tahun anggaran 2013.
Berikut adalah alur birokrasi pengadaan di Pemprov DKI Jakarta dalam kasus korupsi Trans Jakarta :
Gubernur Jokowi sebagai Pengguna Anggaran (PA)

SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Kepala Dinas Perhubungan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)

Drajat Adhyaksa - pejabat di Dinas Perhubungan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

Setyo Tuhu – pejabat di Dinas Perhubungan sebagai Ketua Panitia Lelang (KPL)
 
Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen dan Ketua Panitia Lelang sudah ditetapkan menjadi tersangka ; artinya tinggal Gubernur DKI Jakarta Jokowi sebagai Pengguna Anggaran (PA) yang belum diperiksa dan ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Agung.

Kejaksaan Agung harus segera memeriksa para rekanan pengadaan bus Trans Jakarta dan segera menetapkan para tersangka dari pihak rekanan, dan untuk menjerat Gubernur Jokowi, maka Kejaksaan Agung harus memeriksa dan menjadikan tersangka Michael Bimo – Sang Operator Korupsi Jokowi sejak di Solo.

Karena Jokowi sadar bahwa modus menggarong APBD DKI melalui pengadaan Bus Trans Jakarta telah ketahuan, maka Jokowi segera membentuk BUMD PT. Transportasi Jakarta. PT. Transportasi Jakarta tersebut bertugas untuk membantu pengadaan bus - bus baru sehingga dapat menghilangkan jejak keterlibatan Jokowi. Pengadaan bus – bus baru dapat dilakukan langsung oleh PT. Transportasi Jakarta atau oleh para operator, dimana PT. Transportasi Jakarta membayar biaya layanan operasional berdasarkan jarak per-kilometer.
Susunan Pengurus  PT. Transportasi Jakarta adalah sebagai berikut :
Komisaris Utama adalah Chaidier Patonnory, sementara komisarisnya adalah M. Akbar (Kepala Dishub DKI Jakarta) dan Lindung Paido Tua Simanjuntak.
Jajaran Direksi PT. Transportasi Jakarta antara lain :
Direktur Utama : Antonius Kosasih – mantan Direktur Keuangan PT Perhutani
Direktur Keuangan : Andi Patriota Wibisono
Direktur SDM dan Umum: Sri Kuncoro – mantan pejabat di PT KAI
Direktur Operasional: Heru Herawan – mantan pejabat di PT KAI
Direktur Teknis dan Fasilitas : Wijanarko – mantan pejabat di PT KAI
Struktur jajaran direksi PT. Transportasi Jakarta tersebut didominasi oleh tiga bekas pejabat di PT. Kereta Api Indonesia (KAI) yang merupakan usulan dari Dirut PT KAI Ignatius Jonan kepada Jokowi.
Fakta tersebut membuktikan bahwa hubungan yang sangat dekat antara Jokowi dengan Dirut PT KAI Ignatius Jonan dimana Jonan adalah donatur besar pencapresan Jokowi. 
Aktor Intelektual : Gubernur DKI Jakarta Jokowi sebagai Pengguna Anggaran
Operator Lapangan : Michael Bimo Putranto
Nilai Proyek : Rp. 1.5 triliun
Estimasi Kerugian Negara : Rp. 53 miliar

IV.2.1.B Kasus korupsi Pembangunan Monorel

Proyek pembangunan Monorel di Jakarta ditengarai penuh dengan korupsi dan kolusi. Edward Soeryadjaya adalah salah satu donatur kakap kampanye pasangan Jokowi – Ahok pada Pilkada DKI September 2012 lalu.

Kedekatan Jokowi dengan pasangan Edward – Atilah Soeryadjaja telah dimulai ketika Jokowi masih menjadi Walikota Solo, seperti dilihat pada bab IV.1.5.

Setelah hampir 7 tahun mangkrak, akhirnya proyek monorel di Jakarta dilanjutkan kembali. Pembangunan yang direncanakan rampung pada  tahun 2016 mendatang, terwujud karena disokong penuh oleh PT Jakarta Monorail, yang mana 90% sahamnya dipegang oleh Ortus Holdings. Edward Soeryadjaja, Komisaris Utama PT Jakarta Monorail, yang juga Chairman dan Founder Ortus Holding.

Pada 20 Desember 2012, atau 3 bulan usai kemenangannya di DKI Jakarta, Jokowi menyatakan kepada media bahwa Edward Soeryadjaya paling berpeluang memenangkan tender proyek Monorail Jakarta. Dan 12 Februari 2013 lalu ramai pemberitaan bahwa Edward Soeryadjaya memenangkan tender proyek Monorail Jakarta.

Konyolnya meskipun proyek monorel Jakarta telah dilakukan ground breaking pada bulan September 2013, sampai sekarang belum dapat dilakukan Perjanjian Kerja Sama karena PT. Jakarta Monorel belum sanggup memenuhi syarat-syarat yang diminta oleh Pemeritah Provinsi DKI Jakarta. Disini terlihat bahwa bagi Jokowi yang paling penting adalah peliputan media massa besar-besaran pada waktu ground breaking untuk kepentingan pencitraannya, sedangkan jadi atau tidaknya proyek tersebut, berhasil atau tidaknya proyek tersebut, tidaklah penting bagi Jokowi.

Dapat dilihat bahwa Jokowi sangat tunduk pada kepentingan pengusaha Kristen dan konglomerat hitam. Jokowi melayani pengusaha kakap yang telah membantu donasi ratusan milyar sedari menjabat Walikota Solo hingga pertarungan di Pilkada DKI beberapa waktu lalu.
Aktor Intelektual : Gubernur Jokowi
Partner KKN : Edward Soeryadjaya dan Atila Soeryadjaya
Nilai Proyek : Rp. 12 triliun
Investor : Ortus Ltd (Bersambung)

IV.1. KASUS KORUPSI JOKOWI DI SOLO

IV.1.1. Korupsi APBD Solo – Persis
Bagi Jokowi, Michael Bimo Putranto, selain sebagai “kasir atau ATM”, Bimo merupakan partner Jokowi dalam korupsi dana hibah KONI Rp. 11,3 miliar yang merugikan negara Rp. 5 miliar pada APBD Solo tahun 2009 silam. Ketika Jokowi menjadi Walikota Solo, Bimo adalah Ketua atau Presiden Klub Pasoepati dan pengurus teras Persatuan Sepak Bola Solo (PERSIS).

Pada tahun 2008, Persis Solo mengajukan anggaran untuk operasional untuk klub tersebut, namun karena dilarang ketentuan peraturan perundang-undangan, pengajuan anggaran itu ditolak DPRD Solo. Belakangan diketahui, dana hibah KONI pada APBD Solo tahun 2009 sebesar Rp. 11,3 miliar, sebesar Rp 5 miliar raib. Diduga sekitar Rp.3 – 3,5 miliar masuk ke kas Persis Solo dan Rp. 1,5 miliar masuk ke kantong Jokowi dan Michael Bimo.

Jokowi melanggar hukum dan diduga korupsi dan hibah KONI Solo sebesar Rp. 5 miliar. Pada tahun 2008 KONI Surakarta (Solo) mengajukan permohonan bantuan anggaran pembinaan dan bonus atlet berprestasi ke Pemkot Solo. Atas permintaan KONI, Pemkot Solo menyampaikan usulan RAPBD 2009 dengan alokasi dana hibah sebesar Rp. 11.3 miliar untuk KONI Solo. Nota RAPBD 2009 Pemkot Solo dengan rencana anggaran hibah untuk KONI Solo disetujui DPRD Solo dan ditandatangani Jokowi selaku Walikota.

Sebelumnya pada pada tahun 2008 PERSIS Solo juga mengajukan permohonan dana bantuan ke Pemkot Solo. Tapi tak disetujui karena dilarang peraturan dan perundang-undangan. Terbukti bahwa APBD Solo TIDAK mengalokasikan dana hibah ke Persis Solo pada APBD tahun 2009. Namun dalam pelaksanaannya, DPRD Solo menemukan penyimpangan pencairan dana Rp. 11,3 miliar itu oleh Jokowi, dimana dana APBD 2009 untuk hibah KONI Solo hanya diterima sebesar Rp. 6,3 miliar atau kurang Rp. 5 miliar dari anggaran APBD 2009 yang sudah disahkan.

KONI Solo melalui Wakil Ketua KONI Gatot Sugiharto mempertanyakan kemana kekurangan uang uang Rp. 5 miliar yang tidak diterima KONI. Jawaban Walikota Jokowi bahwa sisa uang Rp.5 miliar dana hibah hak KONI itu sudah dialihkan untuk PERSIS (Persatuan Sepakbola Solo).

Pengalihan uang Rp. 5 miliar dana Hibah KONI melanggar UU dan hukum karena tanpa ada persetujuan DPRD dan Mendagri. Sesuai perundang-perundangan yang berlaku dana APBD tidak diperbolehkan dihibahkan ke cabang olahraga termasuk sepakbola.

Tindakan Jokowi itu melanggar UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri No 59 tahun 2007 serta Perda APBD Kota Solo. Belakangan diketahui uang Rp. 5 miliar hak KONI SOLO telah dialihkan dan disebut Jokowi sudah diterima PERSIS Solo juga tidak dapat dipastikan kebenarannya. Tidak ada laporan penerimaan dana hibah dari APBD 2009 atau hibah dari KONI Solo untuk Persis Solo sebesar Rp. 5 miliar dalam laporan keuangan PERSIS Solo tahun 2009.
Aktor Intelektual : Walikota Solo Jokowi
Operator Lapangan : Michael Bimo Putranto
Nilai Proyek : Rp 11,3 miliar
Estimasi Uang yang dikorupsi : Rp 5 miliar


IV.1.2. Penjualan Aset Hotel Maliyawan yang melanggar hukum
Dalam kasus pelepasan aset bangunan Hotel Maliyawan ini, secara nyata Jokowi yang saat itu menjabat Walikota Solo, adalah dua tindak pidana yang dilakukannya:
Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
Dugaan suap dari Lukminto : Pemilik PT. Sritex
Jokowi telah terbukti merekayasa pelepasan aset bangunan Hotel Maliyawan Solo secara ilegal dan melanggar hukum. Semula Pemkot Solo yang ngotot mau beli tanah hotel milik Pemda Jawa Tengah dan sudah menganggarkan dana pembelian tanah melalui APBD Solo. Tapi Jokowi diam-diam telah menjual bangunan hotel Maliyawan kepada Lukminto. Diduga kuat ada suap untuk Jokowi atas penjulan aset Pemkot Solo di Hotel Maliyawan tersebut.

Jokowi terbukti melanggar Peraturan Pemerintah (PP) 38/2008 atas Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah dan Negara. Jokowi juga melanggar batas kewenangannya sesuai dengan UU Pemda No 22 tahun 1999, UU No 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, sebagaimana telah diubah dengan diubah keduakalinya dengan UU Nomor 12 tahun 2008 dan sejumlah peraturan pemerintah terkait pelepasan aset.

Jokowi terbukti telah melanggar PP No 6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah, Perda No 8/2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. KKN Jokowi bersama Lukminto telah melanggar Laporan Pertanggung Jawaban Walikota Tahun 2010 yang telah menganggarkan pembelian tanah Hotel Maliyawan sebesar Rp.4 miliar dari Pemda/ BUMD Jawa Tengah (CMJT). Jokowi juga telah melanggar Nota Kesepakatan Pemkot Solo dengan DPRD Kota Solo No 910/3.314 dan No 910/1/617 tentang Kebijakan Umum Perubahan APBD Solo.                                                                 
Aktor Intelektual : Walikota Solo Jokowi
Operator Lapangan : -
Penyuap : Lukminto – pemilik PT. Sritex

IV.1.3. Skandal Korupsi Jokowi pada proyek BPMKS (Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo)
Pada tahun 2010, APBD Solo menganggarkan dana BPMKS sebesar Rp. 23 miliar untuk 110.000 siswa SD, SMP dan SMA Kota Solo. Penyimpangan dan korupsi adalah pada proses penganggarannya yang terjadi penggelembungan jumlah siswa dari 65.000 menjadi 110.000 siswa dengan modus duplikasi nama siswa. Sehingga anggaran APBD 2010 yang seharusnya hanya Rp. 10.6 miliar di markup menjadi Rp. 23 miliar. Dari dana APBD tahun 2010 sebesar Rp. 23 miliar itu, dilaporkan tersisa Rp.2.4 miliar atau terpakai/ tersalurkan Rp. 20.6 miliar.

Hasil audit tim audit BPK dan Itjen Kemendagri, telah terjadi korupsi pada program BPMKS sebesar Rp 9.5 – 13 miliar dari penggunaan dana APBD tahun 2010 sebesar Rp. 23 miliar. Untuk program BPMKS APBD 2011 dan 2012 juga terjadi penyimpangan dan korupsi yang sama dengan modus yang sama. Pihak masyarakat sudah melaporkan perihal korupsi Jokowi di program BPMKS ke KPK, tetapi seperti kita ketahui bersama, puluhan ribu laporan masyarakat di KPK menumpuk menunggu antrian bertahun – tahun untuk mulai diusut.
Aktor Intelektual : Walikota Solo Jokowi
Operator Lapangan : Michael Bimo Putranto
Nilai Proyek : Rp 23 miliar
Estimasi Uang yang dikorupsi : Rp 9.5 - 13 miliar

IV.1.4. Pembangunan Gapura Sriwedari diatas tanah sengketa
Selama Jokowi menjabat sebagai Walikota Solo selama dua periode, 2005 – 2010 dan 2010 – 2015, kasus yang turut mencuat ke publik adalah kasus dugaan penyelewengan proyek pembangunan pagar dan gapura Taman Sriwedari tahun 2008.

Proyek pembangunan pagar dan gapura Sriwedari terindikasi terjadi praktik korupsi dengan kerugian sekitar Rp 90 juta. Pimpinan proyek tersebut, Budi Butsono, asal Boyolali, juga sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Proyek milik Pemkot Surakarta itu menelan anggaran sebesar Rp 1 miliar dari APBD tahun 2008. Kejari menegaskan tidak menutup kemungkinan ditetapkannya tersangka baru dari pejabat Pemkot yang diduga mengetahui proyek tersebut.

Selain terbongkar, jika skandal proyek itu dugaan korupsi, ternyata status tanahnya adalah tanah sengketa dan masuk dalam kategori Benda Cagar Budaya (BCB), Pemkot Surakarta di bawah kepemimpinan Jokowi, saat itu dengan gampangnya membangun pagar di atas tanah bersengketa, dengan menggunakan dana APBD 2008 senilai sekitar Rp 960 juta. Dalam kasus ini, Jokowi tidak bisa berkelit begitu saja karena berdasarkan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, UU No 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya jo UU No 11 Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU no 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Perda No 8 tahun 2009 tentang bangunan, jelas disebutkan bahwa jika Walikota sebagai Kepala Daerah wajib mengetahui, dan bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan yang dipimpinnya, terutama pertanggung jawaban secara kewenangan, dalam hal pengeluaran dana APBD Pemkot Surakarta, senilai hampir 1 miliar, untuk membangun pagar di atas tanah yang berstatus sengketa.

Pemkot Surakarta juga sudah tidak memiliki hak atas tanah Sriwedari dengan dicabutnya Hak Pakai 11 dan Hak Pakai 15 berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 12K/TUN/2004. Pembangunan pagar Taman Sriwedari dilakukan Pemkot Surakarta sebagai langkah awal revitalisasi terhadap cagar budaya yang berada di lingkungan Taman Sriwedari.

IV.1.5. Penjualan asset Mangkunegaran kepada Edward Soeryadjaja
Perkenalan Jokowi dengan Edward Soeryadjaja, suami dari Atilah Soeryadjaja, membawa petualangan politik Jokowi ke level yang lebih tinggi, meski ia mengorbankan keluarga Mangkunegaran. Atilah yang berambisi bisa “menguasai” Pura Mangkunegaran, dengan bantuan Jokowi, Atilah dapat menggelar tari Matah Ati di tahun 2012 di Pamedan Pura Mangkunegaran.

Atas jasa Jokowi kepada Atilah itu, Atilah pun dikabarkan deal dengan Jokowi untuk menjadi sponsor pencalonan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta  pada tahun 2013. Deal juga termasuk penguasaan beberapa aset Mangkunegaran seperti Hotel Dana, Taman Putra dan Pasar Triwindu. Termasuk pembangunan restoran dan Hotel Omah Sinten di depan Pura Mangkunegaran, yang sebenarnya itu adalah pelanggaran UU No 11 tahun 2010 soal Benda Cagar Budaya. Hotel dan Restoran Oemah Sinten faktanya resmi milik Jokowi yang modalnya berasal dari Atilah Soeryadjaja, sedangkan Slamet Rahardjo hanya dipinjam namanya saja. Juga deal mengenai pengembangan proyek Astra di Ring Road Mojosongo.

IV.1.6. Penjualan asset Benteng Vastenburgh
Pada kasus Benteng Vastenburgh semua orang tahu jika benteng yang seharusnya menjadi milik negara itu telah berpindah tangan ke kepemilikan swasta yaitu Robby Sumampouw alias Robby Kethek. Robby sendiri mendapatkan benteng itu dari seorang pengusaha Cina, yang mendapatkan benteng itu karena menang judi dengan Handoko Tjokrosaputro (Benny Tjokro), putra sulung dari mendiang Kwee Som Tjok (Kasom Tjokrosaputro) yang merupakan pendiri merk batik ternama Batik Keris di Solo.

Saat Robby ingin membuat hotel di Vastenburgh, sebagai Walikota, Jokowi pun dengan mudah memberinya izin pada tahun 2009. Padahal hal itu jelas melanggar hukum yaitu UU BCB 1992 Juncto UU 11/2010. Jokowi berani melanggar hukum, karena konon dia mendapat bagian komisi sekitar 20 persen berujud saham di hotel tersebut dari total saham sekitar Rp. 50 milyar. Sedangkan investor utama dari jaringan hotel tersebut adalah jaringan Muchtar Riyadi yang merupakan ayah dari James T Riyadi. Jaringan Muchtar Riyadi ini pulalah yang akhirnya bisa bermain untuk membeli kawasan Mangkubumen untuk dibangun apartemen Solo Paragon, dan juga Sari Petojo yang kini dalam proses dibangun hotel dan mall.

IV.1.7. Michael Bimo Putranto : Sang Operator Korupsi Jokowi  
Michael Bimo Putranto, seorang karib dekat Jokowi yang sejak lama menjadi operator sekaligus pengumpul komisi bagi proyek – proyek yang diatur oleh mereka berdua sejak Jokowi menjabat Walikota Solo.

Michael Bimo adalah seorang kader PDIP yang juga anak seorang Gerwani, berperan penting sebagai operator korupsi Jokowi dalam pengadaan beberapa proyek transportasi Jokowi di Solo seperti Batik Solo Trans (BST), Sepur Kluthuk Jaladara, Bus Tingkat Werkudara dan Rail Bus Kresna.

Dilihat dari cara-cara strategi dan taktik Jokowi menimbun harta seperti mengkorupsi dana APBD pada kasus korupsi APBD Persis Solo, kasus korupsi BPMKS, kasus pembangunan Gapura Sriwedari di atas tanah sengketa, pengadaan proyek – proyek transportasi di Solo (Batik Solo Trans, Sepur Kluthuk Jaladara, Bus Tingkat Werkudara dan Rail Bus Kresna) dan penjualan asset – asset Negara dan Keraton Surakarta (penjualan asset Hotel Maliyawan, Hotel Dana, Taman Putra, Pasar Triwindu, Hotel Omah Sinten, penjualan asset Benteng Vastenburgh) kepada para investor konglomerat hitam yang beragama Kristen, menunjukkan bahwa Jokowi sangat pro kepada kaum Kapitalis Borjuis bukan kepada wong cilik. Yang membutuhkan proyek – proyek hotel, apartemen dan mal adalah kaum menengah keatas, bukan wong cilik. (Bersambung)

IV. STRATEGI DAN TAKTIK JOKOWI MENIMBUN HARTA : PENERUS AJARAN TRI-JARAH

Sebagai kader PDIP tentunya Jokowi mengikuti ajaran Tri-Jarah yaitu mengumpulkan uang haram sebanyak-banyaknya untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan kroninya serta serta untuk menjalankan roda organisasi partai. Dikarenakan Solo dan Jakarta tidak memiliki sumber daya alam, maka APBD Solo, APBD Jakarta, penjualan asset Negara dan alih fungsi lahan yang melanggar hukum yang menjadi jarahan Jokowi. Berikut dipaparkan strategi dan taktik Jokowi mengumpulkan uang haram : (Bersambung)

III.3 Janji-Janji Palsu Program Jakarta Baru ala Jokowi (lihat lampiran 3)

Dari semua Janji-Janji Palsu Program Jakarta Baru ala Jokowi maka dapat disimpulkan bahwa banyak program yang tidak berjalan apabila kita lihat jumlah anggaran APBD 2013-2014 pada masa Jokowi maka seharusnya semua program yang dijanjikan oleh Jokowi dapat terlaksana dan terealisasi, berikut data serta daftar kesimpulan dari program dan janji-janji manis yang disampaikan oleh Jokowi antara lain:

1. Program Transportasi (Jakarta Bebas Macet) yang terdiri dari : Pengembangan Koridor Busway; Penambahan Armada Busway (ada tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung); Peremajaan Armada Bus Sedang; Pembangunan MRT (Mass Rapid Transportation); dan Pembangunan Monorail dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar Program tersebut belum terealisasi dan hanya untuk Proyek PENCITRAAN Jokowi saja. Program tersebut bukan ide Jokowi, Jokowi hanya menjiplak program Sutiyoso & Fauzi Bowo. Sangat ironisnya karena APBD Jokowi jauh lebih besar dibandingkan dengan Sutiyoso dan Fauzi Bowo. Program pengadaan armada Busway ternyata jadi obyek KORUPSI yang dilakukan oleh Jokowi dan Michael Bimo Putranto.

2. Program Pengendalian Banjir (Jakarta Bebas Banjir) terdiri dari : Pengembangan Situ, Waduk, dan Embung; Normalisasi Sungai dan Saluran; Pengembangan Sistem Polder; Pembuatan Tanggul Laut Raksasa; Pembuatan Sumur Resapan dan Lubang Bio Pori; Pembangunan DEEP TUNNEL (Terowongan Multi Guna). Program yang belum terealisasi sama sekali adalah Pengembangan Sistem Polder, Pembuatan Giant Sea Wall, dan Pembangunan DEEP TUNNEL (Terowongan Multi Guna). Sedangkan Program Pengembangan Situ, Waduk, dan Embung baru Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio yang terealisir akan tetapi pada musim Hujan, Jakarta Utara dan Jakarta Timur tetap banjir parah. Program Pembuatan Sumur Resapan dan Lubang Bio Pori sangat sedikit yang terealisir. Dari Program yang ada, Jokowi menjiplak apa yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta sebelumnya (Sutiyoso dan Fauzi Bowo). Bagi Jokowi yang terpenting adalah melakukan PENCITRAAN.

3.  Program Perumahan Rakyat dan Penataan Kampung terdiri dari : Mendorong Bangunan Hunian Vertikal; Penataan Kampung dan Lingkungan Kumuh (Kampung Deret). Program Bangunan Hunian Vertikal tidak efektif bagi penduduk di DKI Jakarta yang hampir mayoritas pendapatannya kurang dari Rp 5 juta/bln. Dari program ini dapat dilihat bahwa Jokowi lebih MEMIHAK kepada INVESTOR  yang bermodal besar, bukan kepada wong cilik. Program Kampung Deret yang sudah terealisasi dan yang telah selesai dibangun berjumlah 6 lokasi, lokasi Kampung Deret tersebut  adalah daerah Petogogan, Cipinang Besar Selatan, Klender, Pisangan Timur, Jatinegara, dan Cilincing. Jumlah tersebut masih sangat jauh dari target yang di janjikan oleh Jokowi, dimana Jokowi menjanjikan akan membangun kampung deret di 80 lokasi yang ada di wilayah DKI Jakarta.

4. Program Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) : Untuk membuat RTH ini Pemprov DKI Jakarta harus mengucurkan dana anggaran sebesar 1 triliun rupiah/ tahun, dimana dana tersebut digunakan untuk pembelian lahan yang nantinya akan dikonversi menjadi lahan RTH (ruang terbuka hijau). Luas RTH yang ada di Jakarta saat ini hanya sekitar 75 kilometer persegi atau hanya 9,8 persen saja dari luas daratan di ibu kota yang berjumlah 661,52 kilometer persegi. Selama kepemimpinan Jokowi di DKI Jakarta ia telah melaksanakan program RTH yaitu pembuatan RTH di kawasan Jakarta Utara, yang salah satunya adalah Taman Waduk Pluit di Penjaringan Utara dan Waduk Ria Rio di Jakarta Timur. Dimana Jokowi mengklaim dengan dibuatnya Taman Waduk Pluit di Penjaringan, Jakarta Utara dan Taman Waduk Ria Rio di Jakarta Timur ia telah mengadakan 9,8 persen ruang terbuka hijau di DKI Jakarta. “Pernyataan ini hanya sebagai klaim dari Jokowi saja, karena faktanya dari dua waduk tersebut jauh dibawah 9,8 persen dan klaim tersebut adalah PENIPUAN PUBLIK !!!”. Pada dasarnya program ini hanya meneruskan program Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta sebelum Jokowi.

5. Program Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang terdiri dari : Penyediaan Ruang Ekonomi Informal pada kawasan perkantoran dan perdagangan; Membangun Mall Khusus PKL (Pedagang Kaki Lima); dan Memperbaiki Pasar Tradisional. Program Penyediaan Ruang Ekonomi Informal pada kawasan perkantoran dan perdagangan : Pada tahun 2014 program ini sudah dilaksanakan oleh Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Joko Widodo, Hal ini dibuktikan dengan direlokasikan para PKL yang berdagang di sekitar jalan Tanah Abang ke Gedung Pasar Tanah Abang Blok G. Namun para pedagang ini kembali berjualan di trotoar, hal ini disebabkan karena sangat sedikitnya pembeli yang menyambangi Pasar Blok G Tanah Abang yang disediakan oleh Pemprov DKI Jakarta, sehingga omzet mereka yang tadinya cukup besar menjadi kurang dan bahkan mereka selalu merugi. Hal senada juga di sampaikan oleh para pedagang mainan di Pasar Gembrong Jakarta Timur setelah di relokasi dan disediakan ruang ekonomi informal di Pasar Cipinang Besar Selatan. Sangat sedikitnya pembeli yang datang ke tempat relokasi, sehingga hal ini membuat banyak pedagang yang merugi. Para pedagang kembali lagi berjualan di jalan raya dan dampaknya adalah kemacetan yang muncul kembali dan program tersebut dapat dikatakan gagal total. Program Membangun Mall Khusus PKL (Pedagang Kaki Lima) sampai saat ini belum terealisasi. Program Memperbaiki Pasar Tradisional bukanlah sepenuhnya program dari Gubernur Jokowi, Program ini sebelumnya telah dilakukan pada masa pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo, namun karena ada beberapa kendala yang utama di bidang pendanaan serta tidak adanya investor swasta maka program ini tidak dapat direalisasikan. Namun semenjak Jokowi menjabat sebagi gubernur maka program inin ingin diteruskan, Akan tetapi janji-janji Jokowi selama masa kampanye pada Pemilihan Gubernur ini sampai saat ini belum juga berjalan. Lagi-lagi ini hanya meneruskan dan menjiplak program dari Gubernur  sebelumnya (Sutiyoso dan Fauzi Bowo).

6. Program Revitalisasi Kota Tua : Program ini belum ada progres yang berarti, sehingga dapat dikatakan ini hanya sebagai mimpi dan menjadi program abadi bagi para gubernur DKI Jakarta. Hal ini dapat dibuktikan dari Gubernur Ali Sadikin sampai dengan saat ini belum terlihat adanya perkembangan program ini akan berjalan. Jokowi yang menjadi Gubernur DKI Jakarta pada saat ini ingin menuntaskan Revitalisasi Kota Tua. Dalam menjalankan Program Revitalisasi Kota Tua Jokowi kongkalikong dengan pihak pengembang besar milik PENGUSAHA KRISTEN. Biaya revitalisasi Kota Tua sangatlah sedikit dibandingkan dengan keuntungan dari izin yang didapat dari Jokowi sebagai hasil dari komersialisasi Kota Tua Jakarta dan izin pembangunan Mall, Hotel, Apartemen dan area komersial lainnya diseluruh Wilayah DKI Jakarta.  

7. Program Penerimaan Pajak : Karena Jakarta tidak memiliki sumber daya alam, hasil hutan, hasil  pertanian, dan migas serta hanya mengandalkan sektor jasa dan  sektor properti, untuk meningkatkan APBD DKI Jakarta, maka Jokowi menaikkan NJOP sampai 400%. Keputusan Jokowi menaikkan NJOP sebesar 100 % - 400 % untuk semua golongan masyarakat tanpa memikirkan kemampuan yang berbeda dari masyarakat. Kenaikan NJOP tersebut dimaksudkan untuk menggusur masyarakat pensiunan, masyarakat tidak mampu, dan warga Betawi yang akan menjual tanah dan bangunan miliknya kepada para pengembang besar milik pengusaha KRISTEN. (Bersambung)

III.2. Kiat Esemka : Proyek Mobil Abal-Abal

Antara Jokowi dan pencitraan seperti tak dapat terpisahkan sejak ia menjabat Walikota Solo dua periode. Adalah sebuah kasus yang merupakan bentuk kebohongan publik, ketika Jokowi mempopulerkan mobil Esemka. Mobil yang selama ini digadang-gadang sebagai buah karya siswa SMK Solo itu ternyata hampir semua komponennya mencomot dari mobil produk lain.

Fakta itu disampaikan Sukiyat, pengusaha bengkel di Klaten yang selama ini menjadi salah satu mitra dalam perakitan mobil Esemka. Yang jadi masalah adalah kenapa hasil praktek sejumlah siswa SMK Trucuk Klaten itu kemudian dibawa ke Solo untuk dipamerkan di SMK 2 dan kemudian diklaim sebagai (calon) mobil nasional oleh Walikota Solo Joko Widodo. Mobil rakitan itu menggunakan sejumlah komponen dari mobil lain karena memang di Indonesia belum bisa memproduksi gigi transmisi. Tidak heran sehingga dipakailah komponen buatan Cina yang dibeli di Surabaya.

Yang tidak dipahami masyarakat adalah Solo Techno Park (STP) yang disebut Jokowi sebagai pabrik perakitan mobil Esemka. Perlu diketahui, jika STP adalah sebuah laboratorium penelitian dan praktik yang berkaitan dengan teknologi yang disediakan dari pihak Kementrian Riset dan Teknologi (Kemenristek) untuk masyarakat dan pelajar sekolah kejuruan. Jadi bukan milik Pemkot Surakarta, karena disini pemerintah daerah hanya sebagai pemangku wilayah saja.

Jadi sebuah kesalahan ketika Jokowi mengklaim STP mampu memproduksi mobil nasional, mengingat fungsinya hanya sebagai laboratorium penelitian dan praktik, bukan sebagai karoseri atau assembling perakitan mobil. Selain itu penyebutan nama mobil Esemka sendiri juga merupakan bentuk plesetan dari SMK (Sekolah Menengah Kedjuruan). Padahal Esemka yang dimaksud Jokowi sebenarnya adalah singkatan dari Solo Manufaktur Kreasi, yang merupakan perusahan swasta yang didirikan Sukiyat asal Trucut Klaten, yang akhirnya mengaku  jika dikhianati Jokowi terkait mobil Esemka.

Proyek abal-abal Kiat Esemka tersebut yang digunakan untuk pencitraan Jokowi menuju kursi Gubernur DKI Jakarta.

Link Berita Terkait:
http://www.solopos.com/2012/03/04/beberkan-esemka-sukiyat-mengaku-diancam-167601
www.soloblitz.com
www.solopos.com
(Bersambung)

III.1. Program Blusukan : Program Jiplakan Walikota Solo periode 1985 - 1995

Alih alih itu ide murni Jokowi melakukan blusukan, ternyata hal itu menjiplak cara Walikota Solo periode 1985 – 1995 Hartomo yang berkeliling setiap hari Jumat dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Jokowi bisa menjiplak gaya blusukan tersebut, dikarenakan mantan ajudan Hartomo, Budi Suharto, menjadi Sekretaris Daerah (Sekda) pada periode kepemimpinan Jokowi. (Bersambung)

III. PROGRAM PENCITRAAN JOKOWI DI SOLO DAN JAKARTA

Jokowi merupakan tipe pemimpin yang mengagungkan pencitraan semenjak di Solo hingga ke Jakarta. Pencitraan positif terhadap Jokowi tersebut merupakan suatu tipuan politik yang dilakukan secara massif, sistematis dan terstruktur oleh media massa bayaran, media sosial bayaran (Jasmev – Jokowi Advance Social Media Volunteer – yang dikomandani oleh Diaz Hendro Priyono anak dari A.M. Hendro Priyono), lembaga survey bayaran dan pengamat politik bayaran yang dibelakangnya dibiayai oleh Aliansi sekelompok konglomerat hitam dengan sekelompok oligarki elit partai politik.

Tipuan politik pencitraan Jokowi merupakan sebuah rekayasa atau settingan yang sudah diprogram sejak ia menjabat Walikota Solo. Karena para konglomerat hitam terutama Edward Soeryadjaja dan James T Riyadi melihat bahwa Jokowi sosok pemimpin yang sangat mudah diajak berkolusi dan serakah, munculah skenario merekayasa Jokowi menjadi calon Gubernur DKI dan sesudah itu menjadi calon Presiden Indonesia.

Mengapa Jokowi di setting menjadi Gubernur DKI ? Jawabannya sangat mudah yaitu posisi Jakarta yang menjadi pusat perhatian nasional dan dunia internasional, Pilkada Gubernur DKI lebih dulu dibanding Pilkada Gubernur Jawa Tengah, Jawa Barat atau Jawa Timur serta kondisi geografisnya yang sangat memudahkan untuk kampanye blusukan.

Mengapa Jokowi sangat mementingkan pencitraan??? Tim CSIS menduga kuat bahwa pencitraan diri Jokowi yang cenderung narsis tersebut untuk menutupi kebodohan dan ketidak-kompetenan Jokowi. Sebagai contoh, sewaktu Jokowi diwawancara Bloomberg TV di pagi hari di rumah dinas gubernur pada April lalu, terlihat jelas jawaban-jawaban Jokowi menunjukkan kebodohannya. Jokowi ditanya tentang pendapat suatu kajian yang menyatakan bahwa tahun 2030 perekonomian Indonesia akan melampaui perekonomian Inggris dan Jerman, Jokowi menjawab bahwa ia sangat optimis dengan kajian tersebut dikarenakan infrastruktur Indonesia yang bagus, sumber daya manusia Indonesia yang tinggi dan Indonesia adalah pangsa pasar yang luas. Sebuah jawaban seorang Calon Presiden yang luar biasa bodohnya karena kita tahu bahwa infrastruktur Indonesia masih buruk yang terbukti dengan biaya logistik di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia, Human Development Index (HDI) manusia Indonesia lebih rendah daripada Vietnam dan Indonesia hanyalah pangsa pasar untuk produk impor !!!

Memimpin suatu negara sangatlah berbeda dengan memimpin Jakarta apalagi Solo. Kalau di Solo, gaya blusukan memungkinkan dikarenakan daerahnya relatif kecil. Sedangkan di Jakarta gaya blusukan terbukti kurang berhasil dikarenakan masalahnya jauh lebih kompleks. Apalagi jika memimpin negara, apakah mungkin gaya blusukan diterapkan ??? Perlu berapa puluh tahun untuk blusukan dari Sabang sampai Merauke ??? Tanpa memiliki visi, misi dan konsep yang jelas, tidaklah mungkin Jokowi mampu memimpin NKRI.

Berikut adalah beberapa program pencitraan Jokowi yang dilakukannya sejak di Solo hingga menjabat Gubernur DKI Jakarta: (Bersambung)